Masih
jelas di ingatan kita mengenai kasus kebakaran hutan yang terjadi pada lahan
gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beberapa daerah yang terkena dampak
asap dari kebakaran hutan ini antara lain Sumatera Selatan, Sumatera Utara,
Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Selatan
(Kompas.com, 2015). Bahkan negeri jiran Malaysia dan Singapura pun sempat geram
akibat terjangan kabut asap dari Indonesia.
Meski
jumlah titik panas (hotspot) semakin berkurang, namun dampak dari kabut asap
sisa kebakaran hutan masih terasa. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari kabut
asap antara lain berkurangnya jarak pandang serta menurunnya kualitas udara
akibat akumulasi gas berbahaya yang terkandung dalam asap.
Berkurangnya
jarak padang akan menyebabkan terganggunya
jalur transportasi. Para pengendara sepeda motor dan mobil harus ekstra
hati-hati dalam berkendara, mengingat jalanan yang mereka lalui nyaris tak
terlihat akibat tertutup pekatnya kabut asap. Berkurangnya jarak pandang juga
sangat mengganggu aktivitas penerbangan.
Sejumlah penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II dan Bandara Internasioal
Kualanamu terpaksa dibatalkan akibat kabut asap. Jarak pandang ideal untuk
penerbangan adalah 5.000 m, sementara akibat kabut asap jarak pandang di kedua bandara tersebut beriksar pada jarak
1.000 m, bahkan pernah mencapai kurang dari 500 m. Kondisi tersebut tentu sangat
berbahaya bagi lalu lintas udara.
Kabut
asap juga menyebabkan buruknya kualitas udara. Kebakaran hutan menimbulkan
sejumlah polutan yang berbahaya bagi kesehatan, seperti karbon monoksida,
hidrogen klorida, sulfur dioksida, serta klorin. Terlalu banyak menghirup gas
berbahaya tersebut menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan seperti sesak
napas, iritasi mata, pusing, sehingga akan memicu berbagai penyakit pernapasan
seperti asma, ISPA, serta penyakit paru obstruktif kronik.
Berdasarkan
data konsentrasi partikulat PM10 dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) pada tanggal 29 September 2015 pada pukul 00.00 WIB sampai
21.00 WIB, kualitas udara di kota Pekanbaru dan Palembang naik turun di level sangat tidak sehat hingga berbahaya,
bahkan untuk kota Palangkaraya kualitas udara masih berada pada level berbahaya
dan keadaannya cenderung memburuk.
Kondisi
tersebut menyebabkan kegiatan sosial dan perekonomian masyarakat mengalami
gangguan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah terpaksa diliburkan akibat
kualitas udara yang mencapai level berbahaya. Warga juga dihimbau untuk mengurangi akivitas di
luar rumah. Kondisi ini juga berimbas pada sektor perdagangan, yang menyebabkan
barang dagangan banyak yang tidak laku terjual akibat semakin jarangnya
aktivitas warga diluar rumah.
Dampak
Jangka Panjang
Kondisi
tanah di hutan Pulau Sumatera dan Kalimantan didominasi oleh jenis tanah
gambut. Tanah gambut merupakan sejenis tanah yang menyimpan kandungan karbon
yang tinggi yang berasal dari timbunan tumbuhan selama ribuan tahun. Hutan dan
rawa di Indonesia rata-rata menyimpan sekitar 2.650 ton karbon per hektar, atau
jika diakumulasi total karbon yang ditampung sekitar 46 gigaton (Kemenhut RI
dalam agrolovers.wordpress.com, 2014).
Akumulasi
karbon yang tinggi pada lahan gambut merupakan bahan bakar yang efektif dalam
peristiwa kebakaran hutan. Bisa dikatakan, lahan gambut merupakan cikal bakal
pembentukan batu bara yang masih sangat muda. Hal itu membuat kebakaran yang
terjadi pada lahan gambut dengan mudah menyebar dan sulit dipadamkan. Sisa bara
api masih bisa bertahan selama berbulan-bulan di lapisan bawah tanah gambut, sehingga
bukan mustahil kebakaran lahan bisa kembali terulang meski sudah berkali-kali
dipadamkan.
Kebakaran
hutan telah melepaskan cadangan karbon secara besar-besaran ke udara dalam
bentuk karbondioksida. Akumulasi karbon pada lahan gambut selama ribuan tahun
hilang dalam sekejap akibat kebakaran hutan. Berdasarkan riset Center of
International Forestry Research (CIFOR), kebakaran hutan di Provinsi Riau tahun
ini telah melepaskan sekitar 1,5 hingga 2 miliar
ton karbondioksida. Riau menyumbang 10% emisi gas karbon nasional setiap
tahunnya (rappler.com, 2015).
Karbondioksida di udara bekerja layaknya perangkap panas pada
rumah kaca. Radiasi gelombang pendek matahari akan menembus gas karbondioksida
di atmosfer hingga mencapai permukaan bumi. Sebagian radiasi akan diserap bumi
dan benda lain di bumi, sebagian lagi akan dipantulkan lagi ke luar angkasa
dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Radiasi gelombang panjang tersebut
tidak mampu menembus gas karbondioksida, dan akan kembali dipantulkan ke
permukaan bumi. Mekanisme ini berfungsi untuk menjaga suhu udara di bumi tetap
hangat.
Peningkatan jumlah karbondioksida di udara menyebabkan efek
dari pemanasan global semakin besar. Dampak yang ditimbulkan antara lain
meningkatnya suhu rata-rata global, mencairnya lapisan es di kutub,
meningkatnya tinggi permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan
daratan di pinggir pantai, punahnya sebagian spesies hewan dan tumbuhan,
keadaan iklim dan cuaca yang tidak menentu serta meningkatnya frekuensi bencana
hidrometeoroligis seperti banjir dan badai tropis. Singkatnya, kebakaran hutan
secara tidak langsung berdampak besar pada perubahan iklim global yang tidak
hanya merugikan masyarakat Indonesia, melainkan juga seluruh masyarakat dunia.
Perlunya Perhatian Serius dari Pemerintah
Kebakaran hutan merupakan bencana alam yang datang secara
berulang hampir di setiap tahun. Kekeringan akibat musim kemarau turut
menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Meskipun demikian, sebagian besar
kebakaran hutan disebabkan oleh pembakaran lahan secara sengaja untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung
jawab. Mereka sengaja melakukan hal tersebut demi membuka lahan dengan cepat
dan murah tanpa memperhatikan kerugian ekologis terhadap kesehatan warga sekitar
serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Dalam hal ini, perlu upaya mitigasi dari pemerintah dan
masyarakat dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan. Pemerintah perlu bekerjasama
dengan lembaga terkait, dalam hal ini Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) untuk terus memantau hotspot yang terbentuk serta segera
mengerahkan pihak pemadam sebelum hotspot tersebut menjalar menjadi kebakaran
hutan yang lebih luas.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan sanksi yang
tegas kepada perusahaan yang membakar lahan untuk membuka perkebunan. Sanksi
tersebut hendaknya bukan hanya soal ganti rugi atas kerugian finansial akibat
kebakaran hutan, melainkan juga tanggung jawab atas rusaknya ekosistem hutan
serta pencemaran udara yang dihasilkan. Masyarakat juga diharapkan untuk tidak
membakar sampah atau membuang putung rokok di kawasan hutan untuk mencegah
timbulnya kebakaran hutan. Dengan upaya tersebut, diharapkan bencana kebakaran
hutan tidak terulang kembali di tahun-tahun yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar