Selasa, 23 Februari 2016

Mimpi Buruk pasca Kebakaran Hutan


Masih jelas di ingatan kita mengenai kasus kebakaran hutan yang terjadi pada lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beberapa daerah yang terkena dampak asap dari kebakaran hutan ini antara lain Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Selatan (Kompas.com, 2015). Bahkan negeri jiran Malaysia dan Singapura pun sempat geram akibat terjangan kabut asap dari Indonesia.


Meski jumlah titik panas (hotspot) semakin berkurang, namun dampak dari kabut asap sisa kebakaran hutan masih terasa. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari kabut asap antara lain berkurangnya jarak pandang serta menurunnya kualitas udara akibat akumulasi gas berbahaya yang terkandung dalam asap.

Berkurangnya jarak padang akan menyebabkan terganggunya  jalur transportasi. Para pengendara sepeda motor dan mobil harus ekstra hati-hati dalam berkendara, mengingat jalanan yang mereka lalui nyaris tak terlihat akibat tertutup pekatnya kabut asap. Berkurangnya jarak pandang juga sangat mengganggu aktivitas  penerbangan. Sejumlah penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim II dan Bandara Internasioal Kualanamu terpaksa dibatalkan akibat kabut asap. Jarak pandang ideal untuk penerbangan adalah 5.000 m, sementara akibat kabut asap jarak pandang  di kedua bandara tersebut beriksar pada jarak 1.000 m, bahkan pernah mencapai kurang dari 500 m. Kondisi tersebut tentu sangat berbahaya bagi lalu lintas udara.

Kabut asap juga menyebabkan buruknya kualitas udara. Kebakaran hutan menimbulkan sejumlah polutan yang berbahaya bagi kesehatan, seperti karbon monoksida, hidrogen klorida, sulfur dioksida, serta klorin. Terlalu banyak menghirup gas berbahaya tersebut menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan seperti sesak napas, iritasi mata, pusing, sehingga akan memicu berbagai penyakit pernapasan seperti asma, ISPA, serta penyakit paru obstruktif kronik.

Berdasarkan data konsentrasi partikulat PM10 dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada tanggal 29 September 2015 pada pukul 00.00 WIB sampai 21.00 WIB, kualitas udara di kota Pekanbaru dan Palembang naik turun di  level sangat tidak sehat hingga berbahaya, bahkan untuk kota Palangkaraya kualitas udara masih berada pada level berbahaya dan keadaannya cenderung memburuk.

Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan sosial dan perekonomian masyarakat mengalami gangguan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah terpaksa diliburkan akibat kualitas udara yang mencapai level berbahaya. Warga  juga dihimbau untuk mengurangi akivitas di luar rumah. Kondisi ini juga berimbas pada sektor perdagangan, yang menyebabkan barang dagangan banyak yang tidak laku terjual akibat semakin jarangnya aktivitas warga diluar rumah.


Dampak Jangka Panjang

Kondisi tanah di hutan Pulau Sumatera dan Kalimantan didominasi oleh jenis tanah gambut. Tanah gambut merupakan sejenis tanah yang menyimpan kandungan karbon yang tinggi yang berasal dari timbunan tumbuhan selama ribuan tahun. Hutan dan rawa di Indonesia rata-rata menyimpan sekitar 2.650 ton karbon per hektar, atau jika diakumulasi total karbon yang ditampung sekitar 46 gigaton (Kemenhut RI dalam agrolovers.wordpress.com, 2014).

Akumulasi karbon yang tinggi pada lahan gambut merupakan bahan bakar yang efektif dalam peristiwa kebakaran hutan. Bisa dikatakan, lahan gambut merupakan cikal bakal pembentukan batu bara yang masih sangat muda. Hal itu membuat kebakaran yang terjadi pada lahan gambut dengan mudah menyebar dan sulit dipadamkan. Sisa bara api masih bisa bertahan selama berbulan-bulan di lapisan bawah tanah gambut, sehingga bukan mustahil kebakaran lahan bisa kembali terulang meski sudah berkali-kali dipadamkan.

Kebakaran hutan telah melepaskan cadangan karbon secara besar-besaran ke udara dalam bentuk karbondioksida. Akumulasi karbon pada lahan gambut selama ribuan tahun hilang dalam sekejap akibat kebakaran hutan. Berdasarkan riset Center of International Forestry Research (CIFOR), kebakaran hutan di Provinsi Riau tahun ini telah melepaskan sekitar 1,5 hingga 2 miliar ton karbondioksida. Riau menyumbang 10% emisi gas karbon nasional setiap tahunnya (rappler.com, 2015).

Karbondioksida di udara bekerja layaknya perangkap panas pada rumah kaca. Radiasi gelombang pendek matahari akan menembus gas karbondioksida di atmosfer hingga mencapai permukaan bumi. Sebagian radiasi akan diserap bumi dan benda lain di bumi, sebagian lagi akan dipantulkan lagi ke luar angkasa dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Radiasi gelombang panjang tersebut tidak mampu menembus gas karbondioksida, dan akan kembali dipantulkan ke permukaan bumi. Mekanisme ini berfungsi untuk menjaga suhu udara di bumi tetap hangat.

Karbondioksida dalam kadar tertentu diudara memang bermanfaat untuk menjaga kestabilan suhu di bumi. Tanpa adanya karbondioksida, suhu udara di malam hari bisa jauh dibawah titik beku air. Namun dalam jumlah yang berlebihan akan menyebabkan suhu rata-rata bumi naik diatas normal yang biasa kita sebut dengan istilah pemanasan global.

Peningkatan jumlah karbondioksida di udara menyebabkan efek dari pemanasan global semakin besar. Dampak yang ditimbulkan antara lain meningkatnya suhu rata-rata global, mencairnya lapisan es di kutub, meningkatnya tinggi permukaan air laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil dan daratan di pinggir pantai, punahnya sebagian spesies hewan dan tumbuhan, keadaan iklim dan cuaca yang tidak menentu serta meningkatnya frekuensi bencana hidrometeoroligis seperti banjir dan badai tropis. Singkatnya, kebakaran hutan secara tidak langsung berdampak besar pada perubahan iklim global yang tidak hanya merugikan masyarakat Indonesia, melainkan juga seluruh masyarakat dunia.

Perlunya Perhatian Serius dari Pemerintah

Kebakaran hutan merupakan bencana alam yang datang secara berulang hampir di setiap tahun. Kekeringan akibat musim kemarau turut menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Meskipun demikian, sebagian besar kebakaran hutan disebabkan oleh pembakaran lahan secara sengaja untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Mereka sengaja melakukan hal tersebut demi membuka lahan dengan cepat dan murah tanpa memperhatikan kerugian ekologis terhadap kesehatan warga sekitar serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Dalam hal ini, perlu upaya mitigasi dari pemerintah dan masyarakat dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan. Pemerintah perlu bekerjasama dengan lembaga terkait, dalam hal ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk terus memantau hotspot yang terbentuk serta segera mengerahkan pihak pemadam sebelum hotspot tersebut menjalar menjadi kebakaran hutan yang lebih luas.


Selain itu, pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang membakar lahan untuk membuka perkebunan. Sanksi tersebut hendaknya bukan hanya soal ganti rugi atas kerugian finansial akibat kebakaran hutan, melainkan juga tanggung jawab atas rusaknya ekosistem hutan serta pencemaran udara yang dihasilkan. Masyarakat juga diharapkan untuk tidak membakar sampah atau membuang putung rokok di kawasan hutan untuk mencegah timbulnya kebakaran hutan. Dengan upaya tersebut, diharapkan bencana kebakaran hutan tidak terulang kembali di tahun-tahun yang akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar